Rabu, 11 April 2018

STUDI KASUS SENGKETA DALAM MASALAH EKONOMI


TUGAS SOFTSKILL


KELOMPOK 10
-          Asma Ul Husna                      (21216138)
-          Fadilah Maulana Malik        (22216454)
-          Maria Ressa Tambunan        (24216259)

STUDI KASUS PENYELESAIAN SENGKETA FREEPORT DAN PEMERINTAH YANG MENGANJURKAN PENYELESAIAN DENGAN NEGOSIASI
Sebelum membahas mengenai permasalahan Freeport, kita perlu mengetahui mengenai pengertian dari negosiasi. Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerja sama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi,  kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu. Yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi (negotiation) harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai. Sedangkan arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Dalam kasus Freeport ini, awalnya dari pihak PT Freeport memilih jalan abitrase untuk menyelesaikan permasalahan tentang status IUPK. Namun akhirnya PT Freeport mengikuti usulan pemerintah Indonesia yaitu melalui jalan Mediasi.
·         Pendapat Dari Partner Kantor Hukum Ponggawa dan Partners (HPRP)
Menurut sebuah artikel, kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia membuat perusahaan induknya yaitu Freeport McMoran Inc dan pemerintah Indonesia ingin menempuh jalur arbitrase. Namun, pakar hukum bisnis memiliki pandangan yang berbeda.
Sartono, Partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) mengatakan bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, selalu jalan terbaik adalah menyelesaikan secara damai melalui negosiasi-negosiasi. Tujuannya agar dapat dicapai titik temu yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.
Kemudian menurutnya, perlu dipertimbangkan bahwa sengketa melalui pengadilan atau forum arbitrase akan menyita waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang tidak sedikit, belum lagi faktor-faktor lainnya yang mungkin timbul akibat sengketa tersebut.
Menurut Sartono juga, jalan terbaik untuk penyelesaian kontrak karya Freeport ini adalah dengan melakukan negosiasi untuk mencari titik temu antara pemerintah dan Freeport. Namun, ketentuan peraturan perundangan harus tetap dijunjung tinggi. Pemerintah juga harus melaksanakan aturan perundangan secara konsisten dan adil terhadap semua pihak, Jika memang penyelesaian secara damai tidak dapat dicapai, maka penyelesaian melalui forum arbitrase atau pengadilan merupakan upaya terakhir yang dapat ditempuh, tulisnya.
·         Aspek Hukum
Sartono mengatakan, jika dilihat dari aspek hukum, kasus kontrak karya Freeport sangat menarik dan begitu banyak aspek yang harus diperhatikan. Antara lain hak dan kewajiban masing-masing pihak, keberlakuan dari kontrak karya tersebut jika dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diterbitkan oleh pemerintah. Belum lagi aspek tenaga kerja yang perlu pula diperhatikan, ujarnya. Kombinasi permintaan perpanjangan sebelum waktunya dan keharusan mematuhi ketentuan perundangan baru menambah komplikasi kasus ini. "Menurut kami, sangat penting untuk melihat dan mempertimbangkan kasus ini secara hati-hati," pungkas Sartono.
Seperti diketahui, berdasarkan UU Minerba, PT Freeport Indonesia (PTFI) harus bersedia mengubah status kontraknya di Indonesia dari Kontrak Karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Pemerintah Indonesia juga melarang Freeport untuk mengekspor konsentratnya jika status Freeport Indonesia belum menjadi IUPK. Freeport McMoran Inc menganggap pemerintah Indonesia berlaku tak adil karena menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status Kontrak Karya ke IUPK. Sebagai reaksi perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut, Presiden Direktur Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson berencana membawa permasalahan tersebut ke penyelesaian sengketa di luar peradilan umum (arbitrase) jika tak kunjung menemui kata sepakat. Menanggapi hal tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan, pengajuan arbitrase bukan hanya bisa dilakukan oleh Freeport. Mantan Menteri Perhubungan ini menegaskan, pemerintah pun bisa mengajukan kasus ini ke arbitrase.
·         Pendapat Dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Kemudian, dalam salah satu artikel lainnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyarankan penyelesaian kemelut Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia antara induknya, Freeport McMoran dengan pemerintah Indonesia dilakukan dengan perundingan ketimbang arbitrase. Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) M Husseyn Umar kepada salah satu media bahwa setiap perbedaan pendapat dan sengketa sebaiknya diselesaikan secara baik-baik dan melalui musyawarah. Kemungkinan ke arbitrase sebaiknya menjadi jalan yang paling terakhir, ujar Husseyn.
Salah satu cara penyelesaian sengketa memang biasanya dilakukan melalui arbitrase. Akan tetapi, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan jalan terakhir, menurut Husseyn. Sebelum ke arbitrase, kedua belah pihak harus melakukan perundingan terlebih dahulu, untuk mendapatkan suatu kesepakatan. Husseyn menuturkan, pemerintah dan Freeport dalam perjanjian Kontrak Karya (KK) mempunyai kedudukan yang sama yakni, sebagai subyek hukum perdata. Namun, pemerintah mempunyai dua kedudukan. Jadi tidak hanya sebagai subyek hukum perdata, tetapi juga sebagai subyek hukum publik yaitu sebagai negara. Dengan demikian, Freeport harus mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan negara. Artinya, Freeport tidak hanya terpaku perjanjian Kontrak Karya saja tetapi peraturan mengenai pertambangan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, jelas Husseyn. "Jadi kalau ada peraturan perundangan-undangan baru yang dikeluarkan negara dalam hal ini mengenai pertambangan, maka kedua pihak harus memperhatikan dan menaatinya," kata Husseyn.
Kemudian, Husseyn berharap, baik pemerintah maupun Freeport tetap berunding secara optimal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Freeport seharusnya memahami dan menerima kedudukan serta fungsi pemerintah sebagai subyek hukum publik," tandasnya.
·         Permasalahan Freeport Diselesaikan Dengan Negosiasi
Dalam sebuah media diterangkan, akhirnya PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti usulan Pemerintah Indonesia. Hal ini merupakan hasil dari negosiasi terkait perubahan status Kontrak Karya (KK), menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Negosiasi tersebut dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, tentang pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara.
Dalam hukum tersebut menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca 11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal, antara lain mengubah status KK menjadi IUPK. Ketentuan tersebut tidak diterima begitu saja oleh Freeport, sampai akhirnya pada 10 Februari 2017 pemerintah memberikan IUPK ke Freeport dengan masa berlaku 10 bulan hingga 10 Oktober 2017.
Pemberian IUPK ini untuk mendukung kegiatan operasi Freeport agar tetap bisa mengekspor konsentratnya. Namun, pihak Freeport tidak langsung menerima pemberian status tersebut dan tetap mempertahankan status KK, bahkan ada niat menempuh arbitrase jika dalam 120 hari negosiasi mengalami kebuntuan.
Namun, akhirnya pemerintah dan Freeport sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan Negosiasi dengan target selesai dalam 10 bulan sejak 10 Februari 2010. Negosiasi jangka pendek pun diselesaikan pada April 2017, hasilnya Freeport bersedia menerima status IUPK dengan jangka waktu 10 bulan.
Kemudian kedua belah pihak melanjutkan negosiasi jangka panjang, untuk mencari kesepakatan terhadap‎ empat poin, yaitu pelepasan saham (divestasi) 51 persen, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), perpanjangan masa operasi 2x10 tahun dan stabilitas investasi. Namun, tidak sampai berlangsung 10 bulan negosiasi tersebut selesai, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan, Freeport telah menyetujui empat poin yang dirundingkan tersebut.
·         Kesimpulan
Jadi, dalam penyelesaian sengketa Freeport ini pakar hukum bisnis memiliki pandangan yang berbeda yaitu penyelesaian yang dilakukan secara negosiasi. Karena, negosiasi dapat mempertemukan titik temu antara pemerintah dan Freeport. Namun, jika penyelesaian secara damai yaitu melalui negosiasi tidak dapat dicapai, maka penyelesaian terakhir yaitu menggunakan jalur pengadilan atau arbitrase.
Kemudian, menurut Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) M Husseyn Umar juga menyarankan agar penyelesaian segketa Freeport dilakukan dengan perundingan ketimbang melalui Arbitrase. Dan Arbitrase sebaiknya menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian sengketa ini. Husseyn berharap, baik pemerintah maupun Freeport tetap berunding secara optimal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Freeport seharusnya memahami dan menerima kedudukan serta fungsi pemerintah sebagai subyek hukum publik.
Setelah melalui pertimbangan yang dianjurkan akhirnya PT Freeport memilih jalan negosiasi. Dalam negosiasi jangka pendek hasilnya Freeport menenerima status IUPK dengan jangka waktu selama 10 bulan. Lalu dilanjutkan dengan Negosiasi jangka panjang untuk mencari kesepakatan terhadap poin-poin yang disebutkan. Bahkan tidak sampai 10 bulan negosiasi selesai, Menteri ESDM menyatakan bahwa Freeport telah menyetujui empat poin yang disebutkan diatas.


Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/21/125432026/kasus.freeport.apakah.arbitrase.jalan.terbaik.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/03/15/060000726/badan.arbitrase.nasional.sarankan.sengketa.freeport.diselesaikan.lewat.perundingan.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3075650/kronologi-freeport-akhirnya-bertekuk-lutut-ke-pemerintah-ri