TUGAS
SOFTSKILL
KELOMPOK
10
-
Asma
Ul Husna (21216138)
-
Fadilah
Maulana Malik (22216454)
-
Maria
Ressa Tambunan (24216259)
STUDI
KASUS PENYELESAIAN SENGKETA FREEPORT DAN PEMERINTAH YANG MENGANJURKAN
PENYELESAIAN DENGAN NEGOSIASI
Sebelum
membahas mengenai permasalahan Freeport, kita perlu mengetahui mengenai
pengertian dari negosiasi. Negosiasi
adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha
untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Negosiasi
merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi
kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerja sama dan
kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan
tujuan tertentu. Yang harus diperhatikan bagi para pihak yang melakukan
perundingan secara negosiasi (negotiation) harus mempunyai itikad baik
untuk menyelesaikan dengan damai. Sedangkan arbitrase secara umum dapat
dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam
perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa
kontraktual (perdata). Dalam kasus Freeport ini, awalnya dari pihak PT Freeport
memilih jalan abitrase untuk menyelesaikan permasalahan tentang status IUPK.
Namun akhirnya PT Freeport mengikuti usulan pemerintah Indonesia yaitu melalui
jalan Mediasi.
·
Pendapat
Dari Partner Kantor Hukum Ponggawa dan Partners (HPRP)
Menurut
sebuah artikel, kasus kontrak karya PT Freeport Indonesia membuat perusahaan
induknya yaitu Freeport McMoran Inc dan pemerintah Indonesia ingin menempuh
jalur arbitrase. Namun, pakar hukum bisnis memiliki pandangan yang berbeda.
Sartono,
Partner di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP) mengatakan
bahwa dalam menyelesaikan suatu sengketa, selalu jalan terbaik adalah
menyelesaikan secara damai melalui negosiasi-negosiasi. Tujuannya agar dapat
dicapai titik temu yang mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.
Kemudian
menurutnya, perlu dipertimbangkan bahwa sengketa melalui pengadilan atau forum
arbitrase akan menyita waktu, tenaga, fikiran dan biaya yang tidak sedikit,
belum lagi faktor-faktor lainnya yang mungkin timbul akibat sengketa tersebut.
Menurut
Sartono juga, jalan terbaik untuk penyelesaian kontrak karya Freeport ini
adalah dengan melakukan negosiasi untuk mencari titik temu antara pemerintah
dan Freeport. Namun, ketentuan peraturan perundangan harus tetap dijunjung
tinggi. Pemerintah juga harus melaksanakan aturan perundangan secara konsisten dan
adil terhadap semua pihak, Jika memang penyelesaian secara damai tidak dapat
dicapai, maka penyelesaian melalui forum arbitrase atau pengadilan merupakan
upaya terakhir yang dapat ditempuh, tulisnya.
·
Aspek Hukum
Sartono
mengatakan, jika dilihat dari aspek hukum, kasus kontrak karya Freeport sangat
menarik dan begitu banyak aspek yang harus diperhatikan. Antara lain hak dan
kewajiban masing-masing pihak, keberlakuan dari kontrak karya tersebut jika
dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diterbitkan
oleh pemerintah. Belum lagi aspek tenaga kerja yang perlu pula diperhatikan,
ujarnya. Kombinasi permintaan perpanjangan sebelum waktunya dan keharusan
mematuhi ketentuan perundangan baru menambah komplikasi kasus ini.
"Menurut kami, sangat penting untuk melihat dan mempertimbangkan kasus ini
secara hati-hati," pungkas Sartono.
Seperti
diketahui, berdasarkan UU Minerba, PT Freeport Indonesia (PTFI) harus bersedia
mengubah status kontraknya di Indonesia dari Kontrak Karya menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK). Pemerintah Indonesia juga melarang Freeport untuk
mengekspor konsentratnya jika status Freeport Indonesia belum menjadi IUPK.
Freeport McMoran Inc menganggap pemerintah Indonesia berlaku tak adil karena
menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status Kontrak Karya ke IUPK.
Sebagai reaksi perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) tersebut,
Presiden Direktur Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson berencana membawa
permasalahan tersebut ke penyelesaian sengketa di luar peradilan umum
(arbitrase) jika tak kunjung menemui kata sepakat. Menanggapi hal tersebut,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan,
pengajuan arbitrase bukan hanya bisa dilakukan oleh Freeport. Mantan Menteri
Perhubungan ini menegaskan, pemerintah pun bisa mengajukan kasus ini ke
arbitrase.
·
Pendapat Dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Kemudian,
dalam salah satu artikel lainnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
menyarankan penyelesaian kemelut Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia
antara induknya, Freeport McMoran dengan pemerintah Indonesia dilakukan dengan
perundingan ketimbang arbitrase. Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) M Husseyn Umar kepada salah satu media bahwa setiap perbedaan
pendapat dan sengketa sebaiknya diselesaikan secara baik-baik dan melalui
musyawarah. Kemungkinan ke arbitrase sebaiknya menjadi jalan yang paling
terakhir, ujar Husseyn.
Salah satu cara penyelesaian sengketa
memang biasanya dilakukan melalui arbitrase. Akan tetapi, penyelesaian sengketa
melalui arbitrase merupakan jalan terakhir, menurut Husseyn. Sebelum ke
arbitrase, kedua belah pihak harus melakukan perundingan terlebih dahulu, untuk
mendapatkan suatu kesepakatan. Husseyn menuturkan, pemerintah dan Freeport
dalam perjanjian Kontrak Karya (KK) mempunyai kedudukan yang sama yakni,
sebagai subyek hukum perdata. Namun, pemerintah mempunyai dua kedudukan. Jadi
tidak hanya sebagai subyek hukum perdata, tetapi juga sebagai subyek hukum
publik yaitu sebagai negara. Dengan demikian, Freeport harus mengikuti
perkembangan peraturan perundang-undangan negara. Artinya, Freeport tidak hanya
terpaku perjanjian Kontrak Karya saja tetapi peraturan mengenai pertambangan
baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, jelas Husseyn. "Jadi kalau ada
peraturan perundangan-undangan baru yang dikeluarkan negara dalam hal ini
mengenai pertambangan, maka kedua pihak harus memperhatikan dan
menaatinya," kata Husseyn.
Kemudian, Husseyn berharap, baik
pemerintah maupun Freeport tetap berunding secara optimal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang ada. Freeport seharusnya memahami dan menerima
kedudukan serta fungsi pemerintah sebagai subyek hukum publik," tandasnya.
·
Permasalahan Freeport Diselesaikan Dengan Negosiasi
Dalam sebuah media diterangkan,
akhirnya PT Freeport Indonesia akhirnya mengikuti usulan Pemerintah Indonesia.
Hal ini merupakan hasil dari negosiasi terkait perubahan status Kontrak Karya
(KK), menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Negosiasi tersebut
dilatarbelakangi penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, tentang
pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara.
Dalam hukum tersebut
menyebutkan, perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral
olahan pasca 11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal, antara lain mengubah
status KK menjadi IUPK. Ketentuan tersebut tidak diterima begitu saja oleh Freeport,
sampai akhirnya pada 10 Februari 2017 pemerintah memberikan IUPK ke Freeport
dengan masa berlaku 10 bulan hingga 10 Oktober 2017.
Pemberian IUPK ini untuk
mendukung kegiatan operasi Freeport agar tetap bisa mengekspor konsentratnya.
Namun, pihak Freeport tidak langsung menerima pemberian status tersebut dan
tetap mempertahankan status KK, bahkan ada niat menempuh arbitrase jika dalam
120 hari negosiasi mengalami kebuntuan.
Namun, akhirnya pemerintah dan
Freeport sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan Negosiasi
dengan target selesai dalam 10 bulan sejak 10 Februari 2010. Negosiasi jangka
pendek pun diselesaikan pada April 2017, hasilnya Freeport bersedia menerima
status IUPK dengan jangka waktu 10 bulan.
Kemudian kedua belah pihak
melanjutkan negosiasi jangka panjang, untuk mencari kesepakatan terhadap empat
poin, yaitu pelepasan saham (divestasi) 51 persen, pembangunan fasilitas
pengolahan dan pemurnian mineral (smelter), perpanjangan masa operasi 2x10
tahun dan stabilitas investasi. Namun, tidak sampai berlangsung 10 bulan
negosiasi tersebut selesai, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius
Jonan menyatakan, Freeport telah menyetujui empat poin yang dirundingkan
tersebut.
·
Kesimpulan
Jadi,
dalam penyelesaian sengketa Freeport ini pakar hukum bisnis memiliki pandangan
yang berbeda yaitu penyelesaian yang dilakukan secara negosiasi. Karena, negosiasi
dapat mempertemukan titik temu antara pemerintah dan Freeport. Namun, jika
penyelesaian secara damai yaitu melalui negosiasi tidak dapat dicapai, maka
penyelesaian terakhir yaitu menggunakan jalur pengadilan atau arbitrase.
Kemudian,
menurut Ketua
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) M Husseyn Umar juga menyarankan agar
penyelesaian segketa Freeport dilakukan dengan perundingan ketimbang melalui
Arbitrase. Dan Arbitrase sebaiknya menjadi jalan terakhir dalam penyelesaian
sengketa ini. Husseyn berharap, baik pemerintah maupun Freeport tetap berunding
secara optimal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Freeport
seharusnya memahami dan menerima kedudukan serta fungsi pemerintah sebagai subyek
hukum publik.
Setelah melalui pertimbangan yang
dianjurkan akhirnya PT Freeport memilih jalan negosiasi. Dalam negosiasi jangka
pendek hasilnya Freeport menenerima status IUPK dengan jangka waktu selama 10
bulan. Lalu dilanjutkan dengan Negosiasi jangka panjang untuk mencari
kesepakatan terhadap poin-poin yang disebutkan. Bahkan tidak sampai 10 bulan
negosiasi selesai, Menteri ESDM menyatakan bahwa Freeport telah menyetujui
empat poin yang disebutkan diatas.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/21/125432026/kasus.freeport.apakah.arbitrase.jalan.terbaik.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/03/15/060000726/badan.arbitrase.nasional.sarankan.sengketa.freeport.diselesaikan.lewat.perundingan.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3075650/kronologi-freeport-akhirnya-bertekuk-lutut-ke-pemerintah-ri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar